Biang Kerok Kumuhnya Makassar

By Indra J Mae - March 02, 2015


Semua kota di Indonesia sudah pasti memiliki warung kaki lima bahkan pada saat kondisi tekanan ekonomi global yang mencekik saat ini, warung-warung jenis ini kemudian tumbuh menjamur sampai kepelosok daerah dengan berbagai jenis sajian makanan praktis yang murah meriah. Warung kaki lima diidentifikasikan sebagai tempat kaum marjinal dan kalangan kelas bawah namun di kota-kota besar, keberadaan warung kaki lima menjadi tempat interaksi alternatif yang ekonomis.
Di Makassar, Warung kaki lima didominasi warung-warung pendatang yang populer dengan nama “Warung Sari Laut”, sebuah tempat makan dengan tenda-tenda sederhana dan tempat duduk bangku. Pedagang makanan “fastfood” jalanan ini menyajikan beraneka jenis makanan laut yang murah dan nikmat hingga menjadi populer. Tahun 90-an, warung Sari Laut ini mewabah dan menyebar hampir di semua sudut-sudut kota Makassar.  Malam hari, warung-warung “Sari Laut” ini menjadi pilihan sebagian besar orang.
Membludaknya warung kaki lima ini menjadi aset menggiurkan untuk retribusi pajak Pemda Makassar.  Namun sampai saat ini, penataannya masih simpang siur kendati sudah dilakukan lokalisasi dibeberapa tempat. Pemantauan untuk standar sanitasinya hampir tidak ada sama sekali. Masyarakat pun tanpa sadar telah mengkonsumsi sajian makanan dimana para pedagangnya menggunakan berbagai bahan alternatif untuk meraup keuntungan besar. Efek domino berlaku, kondisi ini menjadi “trend” bagi setiap pelaku jajanan warung kaki lima lainnya.
Standar kebersihannya pun tidak di jamin. Ketika saya masih berstatus konsumen warung-warung ini, saya sempat melihat tempat pencucian piring ditumpuk seadanya diatas selokan.. Tikus-tikus got berseliweran bahkan ada yang berenang-renang dalam piring bekas makanan… Saat itulah saya menetapkan hati, tidak akan makan lagi di warung-warung seperti ini. Dimanapun itu!
Dari situlah saya mencermati dan mendapat jawaban, kenapa tidak pernah sama sekali terlihat turis-turis asing makan di warung-warung kaki lima kota ini. Mereka sangat paham tentang standar sanitasi jajanan jalanan dan sangat tahu pula bahwa standar itu tidak teraplikasi di warung-warung kaki lima kota makassar.
Keberadaan warung-warung kaki lima di kota Makassar sampai saat ini masih terus bertambah dan ironisnya tetap muncul dengan bentuk dan warna yang sama dengan pendahulunya… kotor, serampangan dan tidak profesional.
Lebih ironis lagi, lokalisasi warung kaki lima ini ditempatkan di Pantai losari yang merupakan sarana utama pariwisata. Nampak tenda yang dibangun berdesak-desakan, sesak, kotor, kumuh tanpa ada kesan artistiknya. Untuk sanitasi dan kebersihannya… ? hal itu bukan sebuah persoalan besar karena tidak ada standar atau aturan yang harus diterapkan oleh para pelaku bisnis warung kaki lima ini. Yang penting retribusinya lancar.
Saya hanya bisa berangan-angan, kapan warung-warung kaki lima ditata seperti yang ada di Bandung. Penataannya asri, bersih dan bercita rasa tinggi tanpa harus mengeluarkan biaya mahal untuk itu… warung kaki lima mereka lebih memperioritaskan makanan-makanan tradisionalnya dengan penyajian yang khas. Di Makassar..? ckk.. orang-orang hanya menikmati sajian makanan yang dipaksa modern dengan bahan-bahan makanan instan  yang justru berbahaya bagi kesehatan.
Kesimpulannya cuma satu, realisasinya bisa terwujud kalau Penentu kebijakan mengerti tentang “rasa”.. mengerti tentang etika lingkungan… dan peka dengan kondisi sosial.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments