Mappacekke Wanua : Ritual Penolak Bala di Tanah Luwu

By Indra J Mae - March 14, 2015


Ritual Mappacekke Wanua sejak jaman kerajaan masa silam sering diadakan setiap tahun ketika negeri dilanda masalah/konflik, bencana, malapetaka, kisruh (chaos) dan suasana perang. Dewasa ini, Selain harapan untuk kebaikan, Pemangku Adat Luwu menyelenggarakan Mappacekke Wanua berkaitan dengan kondisi politik setempat yang bertujuan agar masyarakat bisa lebih berpikir jernih menalar situasi demokrasi dan menghindari konflik internal.
Proses pelaksanaan ritual Mappacekke Wanua, dilaksanakan selama 1 minggu dengan berbagai macam rangkaian ritual. Sebelum properti ritual dipasang, terlebih dahulu seorang sesepuh adat datang ke lokasi untuk melakukan accera’ atau memberi tumbal dari darah binatang, diiringi doa memohon keselamatan, agar pelaksanaan ritual bisa berjalan dengan baik.
Properti ritual dipasang mulai dengan menggantung aksesoris pada sebuah panggung kecil yg disebut Lamming Pulaweng. Dinding-dinding simbol walasuji ditempel pada setiap sudut ruang, langit-langit dan tiang ruang dibalut dengan kain gemerlap. Buah-buah dan makanan yang memiliki makna filosofi disiapkan dalam wadah tersendiri. Pada bagian kiri dan kanan gerbang masuk, digantung 9 lembar sarung yang disebut Lanra’, simbol ini memaknakan 9 lubang pada tubuh manusia yang harus ditutup dan dijaga.
Setelah persiapan lokasi ritual rampung, maka dilakukan prosesi Massolo’ atau mengundang Datuk Luwu sekaligus meminta restu pelaksanaan ritual Mapacekke wanua. Kunjungan ini diringi dengan berbagai macam hadiah yang disimpan dalam beberapa wadah Bosara’ sebagai bentuk penghargaan. Ritual adat Mappacekke wanua ini adalah suatu ritual adat dimana pihak kerajaan, masyarakat dan pemerintah menyatukan kehendak, doa dan tujuan untuk menciptakan suasana harmonis dan dinamis yang diharapkan dapat mendatangkan berkah berupa kedamaian dan kesejahteraan bersama. Semua unsur dan elemen masyarakat dilibatkan dalam proses pelaksanaannya.
Sebuah ritual khusus dipersiapkan untuk pengambilan air suci yang disebut malekke’ wae. Ritual ini untuk mengambil air pada suatu tempat yang dianggap memiliki tuah atau berkah berdasarkan sejarahnya. Wadah air berupa pot porselin.
Sang pembawa wadah air adalah seorang gadis kecil yang belum akil baliq disebut pakkatenni wae, ia didudukkan diatas kursi berbentuk tandu bernama sinrangeng diiringi oleh 4 orang gadis pembawa payung kebesaran atau Lellu. Lokasi pengambilan air berupa mata air yang memiliki sejarah tersendiri yang sudah ditentukan oleh pemangku adat.
Rombongan pengambilan air suci dipimpin oleh seorang ma’dikaponrang atau pemangku adat menuju ke sumur atau yang disebut bungung Barani. Ma’dikaponrang inilah orang yang dipercaya untuk memanjatkan doa-doa sampai pada saat ritual air dituang kedalam wadah.
air yang sudah di doakan kemudian dibawa untuk disimpan selama semalam di atas Lamming pulaweng atau singgasana kehormatan. Para tamu disajikan makanan dan dihibur dengan tari-tarian khas Luwu.

Sore harinya, diadakan ritual barasanji atau pembacaan ayat-ayat suci alquran yang dilakukan secara bergiliran oleh imam yang dipercaya. Sementara ayat-ayat alquran itu dibacakan, beberapa wanita menata dan membersihkan tempat ritual, makanan dan minuman diatur dalam bosara, persiapan untuk proses ritual pada malam harinya.
Inti ritual mapacekke wanua bernama Maddoja Roja. Ritual sakral ini diawali dengan acara Mattoana atau perjamuan adat bagi para pemangku adat, kalangan istana, petinggi pemerintahan dan masyarakat yang beramai-ramai datang untuk menghadiri prosesi ritual ini. Perjamuan adat dihadiri oleh Datuk Luwu dan para tamunya. Mereka dihibur oleh para penari, yang satu persatu muncul ditengah perjamuan, menarikan tarian-tarian tradisional khas tanah Luwu.

Usai perhelatan acara Mattoana, ritual Mapacekke wanua ini memasuki inti prosesinya yaitu Maddoja Roja. Ritual ini merupakan semacam meditasi yang dilakukan secara kolektif oleh 9 orang ulama untuk memanjatkan doa-doa. Ke Sembilan ulama ini masing-masing menggunakan biji jagung sebagai media penghitung setiap doa yang dibacakan. Prosesi membaca rangkaian doa keselamatan dan kesejahteraan yang berjumlah ribuan ini disebut matemmu Lahoja. Tata caranya telah ditentukan sejak dulu oleh datuk Sulaiman yang diberikan kepada datuk Luwu untuk dibacakan setiap tahun kepada masyarakat Luwu.

Media penerang prosesi ritual ini hanya lilin bagi setiap ulama. Selama pembacaan doa, tidak seorang pun dari kesembilan ulama tersebut mengucapkan kata-kata selain rangkaian ayat-ayat suci yang harus dibaca. Setelah membaca doa, kesembilan ulama melakukan sembahyang dua rakaat dan diakhiri dengan makan manisan bersama.


Penghujung ritual Mapacekke wanua adalah “Mangngeppi” atau memercikkan air. Air yang telah disucikan tersebut diarak sampai batas wilayah kabupaten Luwu. Sepanjang jalan, air yang telah dimanifestasikan sebagai doa dari seluruh masyarakat Luwu itu, dipercikkan kesegala penjuru dengan harapan mendapat berkah dan rahmat dari sang pencipta.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments