Lembaga Survey Demokrasi, Ahh.. Ini Dia Si Pemicu Konflik

By Indra J Mae - March 02, 2015

foto: Indra Mae
Kehadiran Lembaga Survey sudah ada sejak dilaksanakannya pemilihan umum pada tahun 2004, ketika sejumlah daerah di Indonesia yang melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung telah mendorong trend baru dalam kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia. Trend tersebut yakni lahirnya ratusan konsultan politik yang mendampingi sang calon kepala daerah dan menjamur tumbuh pesat. Tercatat, di Indonesia telah berdiri 37 Lembaga survey berskala nasional dan hampir 200-an lembaga yang berskala daerah. Kompetisi pun dimulai. Naluri “dagang” tentu menjadi prioritas sementara lembaga survei ini terus bermunculan tanpa adanya regulasi yang memayunginya. Perlu diketahui, ditengah gempita bertumbuhnya Lembaga-lembaga survey sebagai konsultan politik ini, belum ada hukum Indonesia yang mengatur keberadaannya.
Kita lihat proses perburuan jabatan menjadi Bupati, Walikota, Gubernur, dan bahkan Presiden dimana selama ini, lembaga survey seakan yang ‘berhak’ menentukan siapa layak dan tidak layak menjadi kandidat dari sebuah partai politik, dengan tiga mantranya: popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Keberadaan lembaga survey sebagai penentu seseorang menjadi calon pemimpin politik, merupakan fenomena yang khas Indonesia. Amerika Serikat (AS), yang dikenal dengan model kepartaian yang lemah, ternyata tak menempatkan lembaga survey sebagai ‘pemegang’ otoritas tertinggi.
Survey politik semacam ini banyak digunakan di negara-negara demokrasi pada akhir perang dunia II atau pada akhir 1940-an. Kualitas hasil survey maupun presisi hasil survey ditentukan oleh metodologi yang digunakannya maupun mekanisme kontrol periodik terhadap metodologi itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa Negara Amerika Serikat mulai menjalankan survey politik ini pada akhir tahun 1940-an dengan berbagai macam konflik dalam masa pertumbuhannya hingga akhirnya hanya memiliki batas-batas tertentu dalam dinamika politik Amerika. (Irsyad Ali)
Lembaga Survei Indonesia (LSI) didirikan oleh YAYASAN PENGEMBANGAN DEMOKRASI INDONESIA (YPDI) pada bulan Agustus 2003, bersifat independen, non-partisan atau tidak berafiliasi pada partai politik maupun tokoh atau kelompok yang terlibat dalam kontestasi politik, dan sistem nirlaba. LSI didirikan oleh tokoh-tokoh yang tepercaya independensinya, profesional, dan pro-demokrasi. Lembaga Survei Indonesia (LSI) adalah anggota konsorsium lembaga international: Comparative National Election Project (CNEP) yang melakukan studi perbandingan pemilihan umum di Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. LSI bekerja atas dasar prinsip-prinsip akademik dan analisis statistik yang relevan, serta bersandar pada kode etik survei opini publik, standarnya International Association of Public Opinion Research (IAPOR). Dewan pembina, ahli/peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) secara rutin dan intensif mengontrol dan mengevaluasi metodelogi dan hasil survei yang dilakukan secara detail, sesuai dengan prinsip-prinsip akademis dan ilmiah
Dalam melakukan proses kerjanya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan 2 jenis survei yaitu
1. Survei Publik (non-komersial) yang dilakukan atas permintaan lembaga-lembaga publik, baik domestik maupun international dan untuk dipublikasikan. Survei ini berskala nasional dan dilakukan rutin setiap 3 (tiga) bulan sekali.
2. Survei Komersial yang dilakukan atas permintaan individu, kelompok atau lembaga swasta lainnya. Hasil survei ini sepenuhnya untuk klien dan tidak untuk DIPUBLIKASIKAN, kecuali klien bersangkutan menghendakinya.
Banyak faktor teknis sehingga kadang hasil survey menyimpang dari perhitungan yang sebenarnya (REAL COUNT) antara lain kesalahan penerapan metodologi dengan sikap pemilih yang disurvey, Hal ini terjadi ketika hasil interview tidak sesuai dengan sikap pemilih secara kualitatif.Pilkada Jakarta merupakan bukti jelas kegagalan lembaga survey ini ketika mereka beramai-ramai mempublikasikan hasil survey pasangan Foke-Nara unggul dalam perolehan suara yang nyatanya berbanding terbalik dengan hasilnya. Semua tahu, bahwa pasangan Foke-Nara punya “dana” lebih untuk mengatur opini dan pengatur opini itu adalah lembaga survey yang dalam perkembangannya sudah berjalan dengan pola “dagang”. Lembaga survei memang memiliki kesaktian tersendiri yaitu mampu menciptakan, membentuk, bahkan mengkonstruksi persepsi masyarakat. Dengan sedikit bantuan media.. “sedikit”…!! maka proses tersebut menjadi cepat dan meluas. Kesaktian inilah yang menarik perhatian kandidat pemilu tertarik meminang sebuah lembaga survei menjadi bagian dari tim sukses. Dana yang di siapkan kandidat pun tidak sedikit, bisa mencapai 2 M. Menggiurkan.
Ketika proses PILGUB Sulawesi Selatan berakhir pada akhir Januari 2013, spontan dalam waktu yang “sangat” singkat, diberbagai media lokal bermunculan hasil perhitungan cepat (Quickcount) berdasarkan pola presentase dari beberapa lembaga survey yang dengan penuh percaya diri mempublikasikan salah satu kandidat gubernur menjadi pemenang. Spontan pula kandidat lain meradang dan mengklaim bahwa hasil dari lembaga survey merekalah yang betul. Polemik pun sudah pasti muncul. Media panen. Apakah kondisi ini ada kemungkinan sama dengan yang terjadi di pilkada Jakarta? Entahlah..?  Namun melihat adanya perseteruan gengsi partai-partai besar dalam ajang pilgub Sulsel ini, maka dipastikan dana yang besar bisa mengatur atau merekayasa opini. Siapa sipengatur opini..? tentu saja lembaga-lembaga survey itu yang sejak tahun 2008 sudah kadung berlomba-lomba mengeruk keuntungan dari dana-dana pilkada yang terkenal besar-besar itu. Publikasi hasil quickcount lembaga survey yang menunggangi media-media yang haus keuntungan pun makin tak terkendali, KPU terkesan sudah kehilangan wibawa dalam kondisi ini bahkan cenderung potensial dianggap merusak hasil yang sudah dipublikasikan. Bisa diprediksikan, kondisi ini bisa menjadi pemicu terjadinya kerusuhan massal karena semua pihak sudah merasa menang.
Jika pun ada kesalahan yang tidak sesuai dengan hasil perhitungan Real count, maka pelaku lembaga survey ini dengan mudah akan mendalihkan bahwa ini hanyalah hasil survey dan hanya bersifat presentase sehingga tingkat kesalahan sudah pasti ada. “kesalahan sudah pasti ada..? jika memang dipastikan begitu, lalu kenapa harus dipublikasikan? tentu saja, karena lembaga survey yang ada di Indonesia dikenal pada umumnya sudah mengalami proses perkembangan yang menyimpang kearah orientasi profit, jauh berbeda ketika pertama kali muncul dengan metodologi kerja yang menjunjung tinggi etika demokrasi.
Menurut beberapa pengamat, Hasil survey yang didapatkan lembaga survey selama ini sering tidak sesuai dengan perhitungan yang sebenarnya karena sampel yang diambil tidak presentatif disebabkan adanya kepentingan mendukung calon yang memiliki dana besar. Kemampuan peneliti tidak sejalan dengan kuantitatif pemilih dan kurang maksimal dalam frekwensi kontinuitas survey. Kalau di Amerika Serikat, survei dilakukan tiap hari, sampai hari H. Tidak ada larangan. Karena surveinya dilakukan hingga hari terakhir, maka dinamika pemilih terekam terus. Di Indonesia, frekwensi survei seperti ini belum bisa karena setiap survei dilakukan dengan wawancara tatap muka. Ini butuh waktu. Di Amerika cukup lewat telpon karena pemilih pada umumnya punya telpon fixed line. Masyarakat kita umumnya tidak punya sarana ini. Kalaupun sudah besar pengguna HP tapi administrasinya belum rapi dan belum terbuka untuk diakses umum. Maka dimaklumi ketika selama beberapa tahun belakangan ini, proses demokrasi di negara kita sering diwarnai pergolakan dan kerusuhan massal yang memakan korban hanya karena mempertahankan sebuah hasil keputusan pemenang pilkada.
Berdasarkan realita itu, maka pantaskah masyarakat kita meyakini hasil penentuan dari lembaga survey ini? saya sendiri tidak akan pernah percaya ketika sebuah lembaga yang tumbuh pesat diantara sesaknya kompetitor yang beramai-ramai berusaha mempopulerkan namanya, maka orientasi yang paling nyata adalah PROFIT. Ingat, Jumlah mereka sudah mencapai ratusan dan akan terus bertambah seiring dengan besarnya dana yang digelontorkan dalam sebuah proses pilkada. Aktifitas yang berdasarkan profit sudah tentu sangat potensial memicu munculnya berbagai macam konflik terutama dalam perkembangan demokrasi di negara kita yang masih sangat rapuh ini… sudah pasti itu, dijamin!

  • Share:

You Might Also Like

0 comments