Gue dan Loe Versi Bugis Makassar

By Indra J Mae - March 02, 2015


Luar biasa pengaruh budaya betawi yang mengusik dan mempengaruhi kearifan lokal daerah diseluruh penjuru nusantara era modernisasi yang berkembang pesat. Efek dahsyat dari sentralistik media yang semuanya bersarang di ibukota pada akhirnya harus membuat ruang kotak kecil, rapat dan mengunci kendali kebijakan publikasi.
Sejak pers bebas dari kekangan orde baru tahun 98, 99% materi yang disajikan media nasional terutama Televisi swasta komersil, ramai-ramai memproduksi program yang jelas mengabaikan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD). Lihat saja program sinetron, hiburan dan berbagai program realita menjadi kebutuhan primer sebagian besar orang Indonesia.
Masyarakat yang pada umumnya baru belajar beradaptasi dengan perubahan kondisi ini, pun harus rela mengkonsumsi bahasa dan pola hidup sehari-hari orang ibukota. Dalam perkembangan bahasa, kata “gue”, “Lu”, “ane”, “ente”, “kok” tiba-tiba menjadi trend standar modern orang indonesia. Anak muda sekarang dianggap hilang sensasi apabila kata-kata itu tidak tersisipkan dalam dialeknya yang cenderung cadel atau dicadel-cadelkan… Gaya ibukota Jakarta menjadi barometer pergaulan manusia Indonesia modern, bebas dan simbol dinamis. Pengaruhnya tidak memandang usia, status dan asal daerah, bahkan hampir semua pejabat-pejabat penting daerah berkesan merasa kaku dan kampungan bila tidak menggunakan logat metropolitan ini.
Suatu waktu, saya baru saja menyelesaikan sebuah film remaja lokal yang murni menggunakan bahasa lokal Makassar tanpa embel-embel bahasa ibukota. Ketika ada peluang untuk kerjasama penayangan dengan salah satu televisi lokal, pihak manajemennya tiba-tiba membatalkan rencana kerjasama hanya karena materi bahasa yang digunakan film itu adalah bahasa lokal. Alasan mereka adalah bahasa lokal tidak menjual dan dianggap tidak layak untuk dikomersilkan. Ironisnya lagi, orang yang membatalkan kerjasama itu adalah pribumi.
Lain lagi, ketika saya dan rekan seprofesi berada disebuah hotel berbintang di Makassar untuk sesi pemotretan, secara tak sengaja bertemu teman yang sedang menunggu staf hotel tersebut. Tidak lama saya menemaninya, seorang wanita cantik datang dan menghampiri kami. Dia menyapa dengan akrab, ” sudah lama mas?” sapanya dalam logat ibukota yang fasih. ” nggak kok Mbak, baru aja.. untung ada temen yang nemenin disini,” jawab teman saya, tidak kalah fasihnya. Beberapa menit kedepan, percakapan mereka terdengar sudah mirip adegan sinetron, sematan kata ” Loe” dan “Gue” mereka serasa aneh ditelingaku. Yang membuat risih karena teman yang setahu saya adalah orang Bugis asli, nampak kewalahan mengatur intonasi logatnya. Lidahnya seperti cadel dan kelihatan seperti orang sesak nafas. Kasihan sekali. Di ujung pembicaraan mereka, si wanita sempat bertanya, ” Mas, orang sini yaa..?, ” Iya Mbak, “gue” orang pangkep” jawab teman saya. ” ohh, kalau “gue” mah dari Bone” timpal si wanita. Mendengar itu dan biar tidak menyinggung perasaan, saya hanya bisa bertanya dalam hati, kenapa di lingkungan mewah seperti ini orang-orang kita harus menggunakan logat ibukota? Apakah itu sudah menjadi standar? sejak kapan? dan apabila itu memang ada, saya yakin bahwa teman saya yang hampir setengah jam berlogat ibukota itu pasti akan keseleo lidahnya..
Masyarakat Bugis Makassar yang sejak dulunya terkenal anti untuk didikte apalagi dinilai, pada umumnya merasa bahwa harga dirinya berada dibawah standar ketika gaya berbicaranya menggunakan logat daerah sendiri jika bertemu dengan orang atau tamu dari luar apalagi dari ibukota. Minimal bisa menyisipkan sedikit gaya bicara populernya orang Jakarta. Dan identitasnya luntur dengan sendirinya. Ini karena harga diri. Tidak mau dinilai kampungan. Inilah fenomena sosial yang sudah menjangkau sampai kepelosok daerah di Sulawesi Selatan.
Prihatin sekali persoalan sosial masyarakat daerah yang identitasnya semakin tercabik oleh pengaruh dan pemahaman modernitas yang salah kaprah. Melihat kondisi yang konyol ini maka barometer wawasan manusia modern Indonesia saat ini adalah semakin anda fasih berbahasa gaul ala metropolitan maka anda sudah bisa dibilang cerdas, dinamis dan stylist. ini realita.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments